Pengertian Matan Hadits
Matan secara bahasa berarti sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari bumi (tanah). Sedangkan secara terminologi, matan berarti, sesuatu yang berakhir padanya (terletak sesudah) sanad, yaitu berupa perkataan.
Atau, dapat juga diartikan sebagai: lafaz Hadits yang memuat berbagai pengertian. Dari Hadits berikut:
Imam Bukhari meriwayatkan, ia berkata, "Telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibn al-Mutsanna, ia berkata, Telah
menceritakan kepada kami 'Abd al- Wahhab al-Tsaqafi, ia berkata, Telah
menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abi Qilabah, dari Anas, dari Nabi
SAW, beliau bersabda, Ada tiga hal yang apabila seseorang memilikinya
maka ia akan memperoleh manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya
lebih dicintainya daripada selain keduanya, bahwa ia mencintai seseorang
hanya karena Allah SWT, dan bahwa ia membenci kembali-kepada-kekafiran
sebagaimana ia membenci masuk ke dalam api neraka "
Maka, lafaz:
adalah merupakan matan dari Hadits tersebut.
Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Kandungan Matan
Yang dimaksud dengan
"kandungan matan" di sini adalah teks yang terdapat di dalam matan suatu
Hadits mengenai suatu peristiwa, atau pernyataan, yang disandarkan
kepada Rasul SAW. Atau, tegasnya, kandungan matan adalah redaksi dari
matan suatu Hadits.
Penyebab utama
terjadinya perbedaan kandungan matan suatu Hadits adalah karena adanya
periwayatan Hadits secara makna (riwayat bi al-ma'na), yang telah
berlangsung sejak masa Sahabat, meskipun di kalangan para Sahabat
sendiri terdapat kontroversi pendapat mengenai periwayatan secara makna
tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan mengenai
penyebab utama terjadinya perbedaan kandungan matan Hadits tersebut.
1. Periwayatan Hadits Secara Makna
Sering dijumpai di dalam
kitab-kitab Hadits perbedaan redaksi dari matan suatu Hadits mengenai
satu masalah yang sama. Hal ini tidak lain adalah karena terjadinya
periwayatan Hadits yang dilakukan secara maknanya saja (riwayat bi
al-ma'na), bukan berdasarkan redaksi yang sama sebagaimana yang
diucapkan oleh Rasulullah SAW. Jadi, periwayatan Hadits yang dilakukan
secara makna, adalah penyebab terjadinya perbedaan kandungan atau
redaksi matan dari suatu Hadits. Suatu hal yang perlu dipahami,
sebagaimana yang telah diuraikan pada bab terdahulu, bahwa tidak seluruh
Hadits ditulis oleh para Sahabat pada masa Nabi SAW masih hidup. Dan,
bahkan keadaan yang demikian terus berlanjut sampai pada masa Sahabat
dan Tabi'in, sebelum inisiatif penulisan dan pembukuan Hadits secara
resmi diambil oleh Khalifah 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz di penghujung abad
pertama Hijriah dan di awal abad kedua Hijriah. Selama masa tersebut,
sebagian dari Hadits-Hadits itu, terutama yang terdapat pada
perbendaharaan Sahabat dan Tabi'in yang menolak untuk menuliskan Hadits,
diriwayatkan hanya melalui lisan ke lisan.
Dalam hal periwayatan
Hadits tersebut, yang memungkinkan untuk diriwayatkan oleh para sahabat
sebagai saksi pertama sesuai/sebagaimana menurut lafaz atau redaksi yang
disabdakan Rasul SAW (riwayat bi al-lafzh), hanyalah Hadits dalam
bentuk sabda (aqwal al-Rasul). Sedangkan Hadits-Hadits yang tidak dalam
bentuk perkataan, seperti Hadits Afal (perbuatan-per- buatan) dan Hadits
Taqrir (pengakuan dan ketetapan) Rasul SAW, hanya dimungkinkan
diriwayatkan secara makna (riwayat bi al-ma'na).
Hadits-Hadits yang dalam
bentuk aqwal pun, tidak seluruhnya dapat diriwayatkan secara lafaz. Hal
tersebut disebabkan tidak mungkin seluruh sabda Nabi SAW itu dihafal
secara harfiah oleh para Sahabat dan demikian juga oleh Tabi'in yang
datang kemudian. Sebab lainnya, juga tidak semua Sahabat mempunyai
kemampuan menghafal dan tingkat kecerdasan yang sama, dan hal ini
memberi peluang terjadinya perbedaan redaksi dan variasi pemahaman
terhadap redaksi Hadits yang diterima mereka dari Nabi SAW, yang
selanjutnya akan berpengaruh ketika mereka meriwayatkannya kepada
Sahabat yang tidak mendengar secara langsung dari Nabi SAW, atau kepada
para Tabi'in yang datang kemudian.
Selain itu, terdapat
sebagian Sahabat yang membo¬lehkan periwayatan Hadits secara makna. Di
antara mereka itu adalah: 'Abd Allah ibn Mas'ud, Abu Darda', Anas ibn
Malik, 'A'isyah, 'Amr ibn Dinar, 'Amir al-SyaTa, Ibrahim al-Nakha'i, dan
lain-lain.
'Abd Allah ibn Mas'ud, misalnya, ketika meriwayatkan Hadits kadang-kadang mengatakan:
Bersabda Rasulullah SAW begini, atau seperti ini, atau mendekati pengertian ini.
A'isyah r.a. suatu
ketika menjawab pertanyaan 'Urwah ibn Zubair ketika Ibn Zubair
menanyakan kepadanya tentang perbedaan redaksi dari suatu Hadits yang
diperolehnya melalui A'isyah, dengan mengatakan:
Maka dia (A'isyah)
menjawab, "Apakah engkau mendengar perbedaan dalam maknanya?" Aku (Ibn
Zubair) mengatakan, "Tidak." A'isyah selanjutnya mengatakan, "Hal
tersebut (periwayatan dengan redaksi yang berbeda, namun maknanya sama)
tidak mengapa (yaitu boleh) untuk dilakukan."
Di kalangan Tabi'in dan
Ulama yang datang kemudian, juga ada yang membolehkan periwayatan Hadits
secara makna, seperti Al-Hasan al-Bashri, Ibrahim al-Nakha'i, dan 'Amir
al-Sya'bi. Mereka memberikan isyarat kepada para pendengar atau yang
menerima riwayat mereka bahwa sebagian Hadits yang mereka riwayatkan
tersebut adalah secara makna. Hal tersebut mereka lakukan dengan cara
mengiringi riwayat mereka itu dengan kata-kata “sebagaimana sabda
beliau” , atau dengan kata-kata “dan yang seumpama ini”.
2. Beberapa Ketentuan dalam Periwayatan Hadits Secara Makna
Para Ulama berbeda
pendapat mengenai apakah selain Sahabat boleh meriwayatkan Hadits secara
makna, atau tidak boleh. Abu Bakar ibn al-'Arabi (w. 573 H/ 1148 M)
berpendapat bahwa selain Sahabat Nabi SAW tidak diperkenankan
meriwayatkan Hadits secara makna. Alasan yang dikemukakan oleh Ibn
al-'Arabi adalah: pertama, Sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang
tinggi (al-fashahah tua al-balaghah), dan kedua, Sahabat menyaksikan
langsung keadaan dan perbuatan Nabi SAW.
Akan tetapi, kebanyakan
Ulama Hadits membolehkan periwayatan Hadits secara makna meskipun
dilakukan oleh selain Sahabat, namun dengan beberapa ketentuan. Di
antara ketentuan-ketentuan yang disepakati para Ulama Hadits adalah:
- Yang boleh meriwayatkan Hadits secara makna hanyalah mereka yang benar-benar memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam. Dengan demikian, periwayatan matan Hadits akan terhindar dari kekeliruan, misalnya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
- Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa, misalnya karena lupa susunan secara harfiah.
- Yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi dalam bentuk bacaan yang sifatnya ta'abbudi, seperti bacaan zikir, doa, azan, takbir, dan syahadat, dan juga bukan sabda Nabi yang dalam bentuk jawami' al-kalim.
- Periwayat yang meriwayatkan Hadits secara makna, atau yang mengalami keraguan akan susunan matan Hadits yang diriwayatkannya, agar menambahkan kata-kata او كماقال , atau اونحو هذا, atau yang semak¬na dengannya, setelah menyatakan matan Hadits yang bersangkutan.
- Kebolehan periwayatan Hadits secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya Hadits-Hadits Nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan (kodifikasi)-nya, maka periwayatan Hadits harus secara lafaz.
Dengan adanya
ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka para perawi tidaklah bebas
dalam meriwayatkan Hadits secara makna. Namun demikian, kebolehan
melakukan periwayatan secara makna tersebut telah memberi peluang untuk
terjadinya keragaman susunan redaksi matan Hadits, yang sekaligus akan
membawa kepada terjadinya perbedaan kandungan matan, yang dalam hal ini
yang dimaksudkan adalah redaksi Hadits itu sendiri.
Perbedaan redaksi matan
Hadits tersebut terjadi terutama karena adanya perbedaan sanad Hadits,
dan perbedaan sanad itu sendiri terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan
perawi. Perawi yang berbeda akan menyebabkan kemungkinan terjadinya
perbedaan dalam cara menerima suatu riwayat dan perbedaan dalam
ketentuan yang dipedomani serta aplikasinya dalam periwayatan Hadits
secara makna.
Sebagai contoh kasus,
dalam hal perbedaan redaksi matan Hadits yang terjadi sebagai akibat
dari perbedaan sanad, adalah Hadits tentang niat. Hadits tersebut dapat
dijumpai di dalam kitab-kitab Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan
Abu Dawud, Sunan Al-Tirmidzi, Sunan Al- Nasa'i, Sunan Ibn Majah, dan
Musnad Ahmad ibn Hanbal,33 Sahabat Nabi yang menjadi perawi pertama
untuk seluruh sanad Hadits tersebut adalah 'Umar ibn al- Khaththab. Di
dalam Shahih al-Bukhari saja Hadits tersebut terdapat di tujuh tempat.
Nama-nama perawinya untuk ketujuh sanad-nya tersebut adalah sama pada thabaqat (tingkatan) pertama sampai dengan yang keempat, yaitu :
- Umar ibn al-Khaththab,
- 'Alqamah ibn Waqqash al-Laitsi,
- Muhammad ibn Ibrahim al-Tamimi, dan
- Yahya ibn Sa'id al-Anshari.
Akan tetapi, terdapat perbedaan perawi pada thabaqat kelima, yaitu:
- Sufyan ibn Uyainah,
- Malik ibn Anas,
- Abd al-Wahhab, dan
- Hammad ibn Zaid.
Perbedaan perawi juga terjadi pada thabaqat keenam, yaitu sebelum Al-Bukhari, yakni:
- Al-Humaydi Abd Allah ibn Zubair,
- Abd Allah ibn Maslamah,
- Muhammad ibn Katsir,
- Musaddad,
- Yahya ibn Qaz'ah,
- Qutaibah ibn Sa'id, dan
- Abu al-Nu'man.
Perbedaan yang terjadi pada sanad yang disebabkan oleh perbedaan perawi pada Hadits-Hadits Bukhari
di atas, telah mengakibatkan terjadinya perbedaan-perbedaan redaksi
pada matannya. Dan, perbedaan tersebut telah kelihatan sejak dari awal
matan-nya yang terdiri dari lima redaksi yang bervariasi, yaitu:
Perbedaan yang
ditimbulkan oleh periwayatan secara makna tidak hanya terjadi dalam hal
redaksi, tetapi juga dalam hal pemilihan kata-kata, sesuai dengan
perbedaan waktu dan kondisi di mana perawi itu berada, yang kata-kata
tersebut diduga mengandung makna yang sama dengan kata-kata yang lazim
dipergunakan pada masa Rasulullah SAW.
3. Meringkas dan Menyederhanakan Matan Hadits
Selain perbedaan susunan
kata-kata dan perbedaan dalam memilih kata-kata untuk redaksi suatu
Hadits, permasalahan yang juga diperselisihkan oleh para Ulama dan
berpengaruh terhadap redaksi matan suatu Hadits adalah mengenai tindakan
meringkas atau menyederha-nakan redaksi dari suatu Hadits. Sebagian
Ulama ada yang mutlak tidak membolehkan tindakan tersebut. Hal itu
sejalan dengan pandangan mereka yang menolak periwayatan Hadits secara
makna. Sebagian lagi ada yang membolehkannya secara mutlak. Namun,
kebanyakan Ulama Hadits dan merupakan pendapat yang terkuat adalah
membolehkannya dengan persyaratan. Syarat- syarat tersebut, sebagaimana
yang dirangkum oleh Syuhudi, adalah sebagai berikut:
- Yang melakukan peringkasan itu bukanlah periwayat Hadits yang bersangkutan;
- Apabila peringkasan dilakukan oleh periwayat Hadits, maka harus telah ada Hadits yang dikemukakannya secara sempurna;
- Tidak terpenggal kalimat yang mengandung kata pengecualian (al-istisna'), syarat, penghinggaan (al- ghayah), dan yang semacamnya.
- Peringkasan itu tidak merusak petunjuk dan penjelasan yang terkandung dalam Hadits yang bersangkutan.
- Yang melakukan peringkasan haruslah orang yang benar-benar telah mengetahui kandungan Hadits yang bersangkutan. (Jalal al-Din al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib Al-Nawawi, Ed. Irfan al-'Asysya Hassunah (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/ 1993), h. 302-303).
Demikian uraian tentang pengertian matan hadits semoga bermanfaat. Aamiin.
Posting Komentar